Suatu hari seorang murid mengadukan kepada gurunya tentang kesulitannya dalam mencari penghidupan di negerinya. Maka ia berniat untuk berikhtiar ke negeri seberang,
"Guru, saya minta ijin mau pergi ke India. Di sana ada sahabat ayah saya yang sangat baik dan berkecukupan. Barangkali ia akan bantu saya memberi pekerjaan."
"Tidak, saya tidak mengijinkan."
Murid tersebut terkejut juga karena gurunya melarang. Tetapi demi ketaatan pada sang guru, akhirnya ia tetap tinggal. Hingga beberapa lama berselang, ia masih kesulitan dalam hal rezeki maka menghadaplah kembali kepada gurunya,
"Guru, di sini tak ada harapan buat saya. Ijinkan saya pergi ke India, sebab ada satu orang dermawan yang kenal akrab dengan ayah saya, dan ia pasti akan memberi pertolongan."
"Tidak, saya tidak mengijinkan."
Lagi-lagi gurunya tidak setuju dengan gagasannya. Maka dibatalkanlah kembali rencananya sambil bertanya-tanya dalam hati apakah ada yang salah dengan dirinya hingga gurunya tak kunjung mengijinkan?
Saat introspeksi diri itulah maka sadarlah ia akan kesalahannya. Rupanya kekeliruan tersebut ada pada faktor niatnya. Ia pun bertaubat, kemudian kembali kepada gurunya.
"Guru, aku minta ijin ke India. Untuk mencari rezeki Allah. Barangkali saja Allah berikan aku rezeki saat di India kelak."
"Nah, sekarang aku ijinkan! Kemarin engkau berniat untuk bergantung pada manusia, maka aku melarang. Tetapi sekarang engkau berniat untuk bergantung kepada Allah, maka aku mengijinkan."
Kisah ini terjadi di Yaman, dan guru dalam cerita di atas adalah Al-Imam Hasan bin Segaf As-Segaf, seorang ulama terkemuka pada kisaran tahun 1200-an Hijriah.
Betapa seringnya kita meletakkan niat yang kurang tepat pada apa yang akan kita perbuat. Oleh karena itu, mari kita perbaiki.
Saat keluar dari rumah untuk berangkat kantor, janganlah berniat agar kantor memberi bayaran. Melainkan niatlah untuk mencari rezeki Allah, yang barangkali Allah titipkan melalui kantor tersebut.
Atau mungkin ketika berjualan barang dagangan, tidaklah tepat jika berniat untuk mengejar keuntungan dari para konsumen. Melainkan berniatlah untuk mencari rezeki Allah, yang mungkin saja Allah siapkan kepada para konsumen tersebut.
Atau ketika kita sakit, kemudian menujulah kita ke dokter. Kurang pas rasanya jika berniat agar dokter menyembuhkan kita. Melainkan berniatlah untuk mencari kesembuhan dari Allah, yang barangkali dengan wasilah sang dokter tersebut.
Perhatikanlah bedanya, mana yang niatnya semata-mata bergantung kepada mahluk. Dan mana pula yang niatnya bergantung kepada Allah.
Semoga bermanfaat
Wasallam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar