Pesan ini kami kisahkan kembali untuk muhasabah diri kami sendiri untuk selalu menyebarkan kebaikan. dari buku Falsafah Hidup orang berakal Menurut
Buya Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
Pertama, orang
berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan.
Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti.
Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah
didapat padahal rapuh. Jadi, akhirat lebih utama bagi mereka dibanding dunia.
Kedua, orang
berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang
telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan
hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan. Jadi, tidak ada waktu
yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti
kesalahan atau aib orang lain.
Ketiga, orang
berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan,
ada timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan
berbahaya. Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.
Keempat, orang
berakal selalu mengingat kekurangannya. Bahkan, kata Buya Hamka, “Kalau perlu
dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada
agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu
kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah
segala kekurangan itu.”
Kelima, orang
berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai
atau nikmat yang meninggalkannya. Buya Hamka menulis, “Diterimanya apa yang
terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya
berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena
cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan.”
Keenam, orang
berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula. Artinya, temannya adalah orang
yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang
risalah kebenaran.
Ketujuh, orang
yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan.
“Walaupun
bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu
kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua,
ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak
dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar.”
Kedelapan, orang
yang berakal tidak bersedih hati. Buya Hamka menulis, “Orang yang berakal tidak
berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan
akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang
telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal.”
Kesembilan, orang
berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh
kehidupan. Buya Hamka menulis, “Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukat
buat dirinya sendiri.”
Demikianlah
sembilan tanda orang berakal menurut Buya Hamka. Dan, lebih lanjut, beliau
menambahkan bahwa orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga
perkara. Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari
kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.
sumber
berita : http://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2015/05/18/69